Pemerintah Inggris Mengumumkan Definisi Ekstremisme Baru di Tengah Meningkatnya Ketegangan
Iklim politik di Inggris semakin tegang dalam beberapa bulan terakhir. Ketika perselisihan mengenai isu-isu sensitif seperti konflik Israel-Palestina semakin meningkat, pemerintah Inggris telah meluncurkan pedoman baru seputar bahasa ekstremis. Berdasarkan peraturan baru, ideologi yang didasarkan pada kebencian yang mengabaikan hak orang lain dapat dianggap ekstremis. Namun, beberapa pihak memperingatkan bahwa definisi tersebut dapat menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan karena berpotensi membatasi diskusi yang sah namun menantang.
Mendefinisikan Ekstremisme
Saat mengumumkan perubahan tersebut, menteri kabinet senior Michael Gove menyebut peningkatan kejahatan rasial yang mengkhawatirkan sebagai motivasinya. “Meluasnya ideologi ekstremis menjadi semakin jelas,” katanya. Berdasarkan definisi yang direvisi, organisasi yang mengejar tujuan seperti menghancurkan kebebasan fundamental dapat kehilangan pendanaan atau kemitraan dari pemerintah. Namun para kritikus dari berbagai sudut pandang mempertanyakan apakah peraturan tersebut mungkin melampaui batas dengan menampilkan aktivisme pada isu-isu seperti gender atau aborsi. Menilai dampak nyata akan bergantung pada bagaimana pemerintah Inggris menerapkan definisi baru tersebut di masa depan.
Bahkan tokoh-tokoh yang biasanya mendukung partai Konservatif yang berkuasa pun menyuarakan keraguannya. Uskup Agung Canterbury memperingatkan umat Islam mungkin akan menghadapi peningkatan sasaran. Karena tidak ada satupun orang yang secara resmi dicap sebagai ekstremis, cara pemerintah Inggris menerapkan pedoman barunya dalam praktik akan menentukan apakah ketegangan akan meningkat atau mereda di ruang publik Inggris yang penuh tantangan. Ketika wacana politik semakin sengit, menyeimbangkan keamanan dan kebebasan sipil masih menjadi tantangan bagi para pejabat.